Kamis, 08 Mei 2014

METODE STUDI AL-QUR’AN






Di Susun Oleh:
 Fitri Aprillia                 10420009
Irawansah Putra          10420012
Helen                           10420010



Dosen Pembimbing:
Imron, M.A





FAKULTAS ADAB DAN HUMAIORA
JURUSAN SEJARAH KEBUDAYAAN ISLAM 
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI RADEN FATAH PALEMBANG
2012
















BAB I
PENDAHULUAN

Al-Qur’an merupakan wahyu Allah dan sekaligus sebagai pedoman atau panduan hidup bagi umat manusia. banyak ilmu yang lahir dari Al-Qur’an, baik itu yang berhubungab langsung dengannya seperti ulumul Qur’an, Ilmu Tafsir dan yang lainnya, atau tidak berhubungan langsung namun terinspirasi dari Al-Qur’an seperti ilmu alam, ilmu ekonomi, dan yang lainnya. Al-Qur’an menekankan pada kebutuhan manusia untuk mendengar, menyadari, merefleksikan, menghayati dan memahami, maka, mau tidak mauAl-Qur’an harus mampu menjawab berbagai problematika yang terjadi di masyarakat.[1]
            Kaum Muslimin sejak awal kelahirannya sudah memperhatikan bagaimana penafsiran dan aturan-aturan, metodologi dan hal-hal yang berhubungan dengan penafsiran diterapkannya terhadap kitab Al-Quran. Hal ini bisa dilihat dalam berbagai literatur yang masih ada hingga sekarang. Di samping berbagai berbagai disiplin keilmuan yang berkembang dalam sejarah Islam kaum Muslim, disiplin  Studi Al-Qur’an merupakan salah satu disiplin ilmu yang harus dipelajari untuk diterapkan dalam menafsirkan Al-Qur’an.
           









BAB II
Metode Studi Al-Qur’an

A.    Urgensi Metode Studi Al-Qur’an

Apa yang anda dapatkan dari sejarah penafsiran, pengajaran, dakwah, dan nasihat Al-Qur’an? Apakah anda sudah dekat dengan Al-Qur’an dan menjadikannya sebagai sumber pergerakan dan penerang kehidupan? Dengan kata lain, bagaimanakah kita dapat membangun metodologi pemahaman Al-Qur’an serta menjadikannya sebagai teman berdialog dalam kehidupan sesuai dengan fungsi Al-Qur’an sebagai nash yang kekal sepanjang masa dan rujukan utama umat islam?

Gambaran umat islam terhadap Al-Qur’an membutuhkan studi yang mendalam. Hal ini disebabkan umat islam, setelah abad pertama Hijriyah, banyak menitikberatkan pada masalah-masalah yang berkaitan dengan bacaan Al-Qur’an, ilmu tajwid, dan terpaku pada hafalan teks-teks Al-Qur’an semata.[2] Mereka tidak begitu mementingkan pada aspek-aspek dialogisnya sehingga mengakibatkan tertinggalnya umat islam dari bangsa-bangsa lain yang non islam, Padahal Allah Swt berfirman:
كِتَابٌ أَنْزَلْنَاهُ إِلَيْكَ مُبَارَكٌ لِيَدَّبَّرُوا آَيَاتِهِ وَلِيَتَذَكَّرَ أُولُو الْأَلْبَابِ   (ص:29)
Dimana ayat ini memberi tekanan untuk mengingat, menyimak, dan menganalisis. Dari manakah kita mengambil pelajaran jika kita tidak menghayati makna ayat secara mendalam atau minimal mengerti maksudnya untuk dijadikan tuntunan yang secara prinsip dibutuhkan oleh umat islam secara individual maupun sosial.
Namun kita sepakat bahwa tidak semua orang dapat dengan cepat menguasai dan memahami kalimat-kalimat yang ada dalam Al-Qur’an. Bahkan untuk sebagian orang, kalimat tersebut dirasakan asing. Hal ini disebabkan ungkapan Al-Qur’an memiliki nilai sastra yang sangat tinggi. Dalam memahaminya tidaklah semudah membalikkan telapak tangan dan dibutuhkan kesungguhan.
Sebenarnya Al-Qur’an telah dikaji dalam kitab-kitab bahasa arab, namun tidak cukup  bagi umat islam untuk berhenti mengkajinya hanya sampai di situ. Kebanyakan umat islam merasa sudah mempraktikkan kandungan Al-Qur’an secara konsekuen Padahal kenyataannya hanya sebatas pada hukum-hukum bacaan saja, yang bila hal itu tidak dibaca dengan semestinya maka dengan spontan kita katakan salah besar. Mungkin saja hal ini dapat dibenarkan bila dimaksudkan sebagai langkah awal mengenal Al-Qur’an. Sedangkan untuk memahami, menentukan hukum serta penafsiran lebih lanjut tentang kandungan Al-Qur’an, maka masih sulit kita temukan, khususnya di kalangan umat islam saat ini. Ini adalah masalah besar yang tidak boleh kita biarkan begitu saja bila kita tidak menginginkan keterasingan dari agama kita sendiri dan dari keterasingan Al-Qur’an sebagai pedoman agama.[3]
Untuk mencapai pemahaman isi kandungan Al-Quran di butuhkan penjelasan, keterangan yang terpencil, dan penjabaran lebih lanjut yakni tafsir Al-Qur’an. Untuk itu maka tafsir berfungsi untuk memahami dan menggali khazanah atau kekayaan kandungan Al-Qur’an karena fungsi Al-Qur’an bukan hanya sebatas untuk dibaca, tapi juga untuk dipahami dimana untuk memahaminya diperlukan beberapa metode yang akan dibahas di pemabahasan selanjutnya.






B. Pengembangan Metodologi Dan Aplikasinya Dalam Memahami Al-Qur’an

Bentuk penafsiran Al-Qur’an secara garis besar dibagi tiga bagian, yaitu;
1.      Tafsir bir Riwayah
Yaitu penafsiran ayat dengan ayat atau penafsiran ayat dengan hadis Nabi Muhammad. Tafsir ini perkembangannya ada dua periode, yaitu:

a.       Periode lisan, pada periode ini para sahabat mengambil penafsiran dari Rasulullah atau dari sahabat yang dapat dipercaya dan memperhatikan jalur periwatannya.
b.       Periode tadwin (penulisan), pada periode ini tafsir bir riwayah proses penukilannya dicatat dan dikodifikasikan.

Tafsir bir riwayah ini di bagi menjadi tiga, yaitu:[4]
1.      Penafsiran Al-Qur’an dengan Al-Qur-an
2.      Penafsiran Al-Qur’an dengan Al-Hadist
3.      Penafsiran Al-Qur’an dengan ucapan Para Sahabat

2.      Tafsir bir Ra’yi
Yaitu menafsirkan ayat Al-Qur’an dengan menggunakan penalaran atau ijtihad yang dibangun atas dasar-dasar  yang benar,kaedah  yang lurus yang harus di pergunakan oleh setiap orang yang hendak menafsirkan Al-Qur’an.

3.      Tafsir bil Isyari
Dalam tafsir bil Isyari seorang mufassir dapat melihat makna lain selain makna dlahir yang terkandung oleh ayat Al-Qur’an, namun makna lain itu tidak tampak oleh setiap orang, kecuali orang yang dibukakan hatinya oleh Allah.
Jika ditelusuri perkembangan tafsir Al-Qur’an sejak dahulu sampai sekarang, maka dapat ditemukan bahwa penafsiran Al-Qur’an secara garis besar melalui empat macam metode, yaitu;
a.       Metode Tahlily
Yaitu metode tafsir yang mufassirnya berusaha menjelaskan kandungan ayat-ayat al-Qur’an dari berbagai seginya dengan memperhatikan runtutan ayat-ayat al-Qur’an sebagaimana tercantum di dalam mushaf. Cara penafsiran dalam Tafsir Jalalain karangan al-Suyuthi dan al-Mahalli dapat dijadikan sebagai contoh untuk memahami tafsir dengan cara tahlily ini.
b.      Metode Ijmali
Yaitu cara menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an dengan menunjukkan kandungan makna yang terdapat pada suatu ayat secara global namun dalam prakteknya metode ini sering terintegrasi dengan metode tahlily karena itu sering kali metode ini tidak di bahas secara tersendiri. Misalnya tafsir al-Wasith Lisayyid Thanthawi.
c.       Metode Muqarin
Yaitu metode tafsir yang dilakukan dengan cara membandingkan ayat al-Qur’an yang satu dengan lainnya yaitu ayat-ayat yang mempunyai kemiripan redaksi dalam dua atau lebih kasus yang berbeda atau yang memiliki redaksi yang berbeda untuk masalah atau kasus yang sama atau diduga sama atau membandingkan ayat-ayat al-Qur’an dengan hadis-hadis Nabi yang tampak bertentangan serta membandingkan pendapat-pendapat ulama tafsir menyangkut penafsiran al-Qur’an, Contoh yang terdapat dalam surat Al-Anfal ayat 10

وَما جَعَلَهُ اللَّهُ إِلَّا بُشْرَى وَلِتَطْمَئِنَّ بِهِ قُلُوبُكُمْ وَمَا النَّصْرُ إِلَّا مِنْ عِنْدِ اللَّهِ إِنَّ اللَّهَ عَزِيزٌ حَكِيمٌ
وَمَا جَعَلَهُ اللَّهُ إِلَّا بُشْرَى لَكُمْ وَلِتَطْمَئِنَّ قُلُوبُكُمْ بِهِ وَمَا النَّصْرُ إِلَّا مِنْ عِنْدِ اللَّهِ الْعَزِيزِ الْحَكِيمِ
(آل عمران :126)

Dua ayat tersebut redaksinya kelihatan mirip, bahkan sama-sama menjelaskan pertolongan Allah kepada kaum muslimin ketika melawan musuh-musuhnya namun berbeda pada hal-hal sbb. Surat al-Anfal (1) mendahulukan kataبه  dari pada  قلوبكم(2) memakai kata  ان(3) berbicara mengenai perang badar. Surat Ali Imran: (1) memakai kata لكم (2)  berbicara tentang perang uhud[5]
d.      Metode Maudlu’iy
Menurut Quraish Shihab metode maudlu’iy mempunya dua pengertian. Pertama, penafsiran menyangkut satu surat dalam al-Qur’an dengan menjelaskan tujuan-tujuannya secara umum dan yang merupakan tema sentralnya, serta menghubungkan persoalan-persoalan yang beraneka ragam dalam surat tersebut dengan berbagai masalahnya merupakan satu kesatuan yang tidak  terpisahkan. Kedua, penafsiran yang bermula dari menghimpun ayat-ayat al-Qur’an yang membahas satu masalah tertentu dari berbagai ayat atau surat dan yang sedapat mungkin diurut sesuai dengan urutan-urutannya, kemudian menjelaskan  pengertian menyeluruh dari ayat-ayat tersebut guna menarik petunjuk al-Qur’an secara utuh tentang masalah yang dibahas itu.[6]

e.       Metodelogi Hermeneutika

Disiplin ilmu pertama yang banyak menggunakan hermeneutika adalah ilmu tafsir kitab suci. Sebab semua karya yang mendapatkan inspirasi ilahi seperti Al-Quran, kitab Taurat, kitab-kitab Veda; dan Upanishad supaya dapat dimengerti memerlukan interpretasi atau hermeneutika
Hermeneutika yang kini telah menjadi metodologi umum, apakah mungkin hermeneutika ini diterapkan kepada Al-Quran. Mereka berkata bahwa “Al-Quran adalah buku, adalah teks, adalah kitab kuno atau kitab klasik. Jadi ada jarak antara kita dengan Rasulullah”. Tentang keaslian teks-teks Al-Quran itu pun mereka pertanyakan, mereka keluarkan riwayat-riwayat maka timbullah kajian tentang dekonstruksi (baca : pembongkaran kembali) Al-Qur’an. Al-Qur’an ingin mereka konstruksi ulang, mereka edit sampai-sampai ingin mengeluarkan Al-Qur’an edisi kritis. Maksud mereka ingin merubah kembali Qiro’ah Al-Qur’an, wallahu musta’an. Kita lihat bagaimana mereka dengan lancang mengutak-atik firman Allah. Hal ini tidak lain dikarenakan oleh metodologi kufur hermeneutika itu sendiri. Dapat kita bayangkan bagaimana bila metode hermeneutic of suspicion ini bila diterapkan untuk Al-Qur’an Al-Karim. Sebelum membaca Al-Qur’an kita mesti curiga terlebih dahulu. Padahal  sebelum membacanya kita diajar membaca ta’awudz :’Audzubillahi minasysyaithoonirrojiim”, mohon perlindungan dari setan yang akan menyeret kepada kekeliruan ketika membaca dan memahami Al-Qur’an. Metode hermeneutika ini mengajar kita untuk menjadi setan sebelum membaca Al-Qur’an, karena belum apa-apa hati, pikiran, logika dikondisikan untuk curiga akan kebenaran teks, kebenaran makna dan kebenaran ke-wahyu-an Al-Quran. Betapa dahsyatnya kesesatan tafsir Hermeneutika ini.
Dalam metodologi tafsir tidak pernah ada yang mempermasalahkan teks, karena Rasulullah SAW sendiri yang menafsirkan Al-Qur’an. Jalur periwayatannya sudah jelas, mutawatir, para huffadz (penghafal Al-Qur’an) juga para Quro’ (ahli baca Al-Qur’an) pun selalu menjaganya dalam sanubari mereka.[7]









BAB III

Kesimpulan

Fungsi tafsir dalam kerangka memahami dan menggali khazanah atau kekayaan kandungan Al-Qur’an itu adalah kunci. Tanpa kunci tidak mungkin memasuki pintu yang tertutup rapat, apalagi untuk mengetahui dan memperoleh segala yang tersimpan dibalik pintu itu.

Faedah mempelajari tafsir, yaitu mengetahui petunjuk Allah yang tersimpan dalam Al-Qur’an, baik yang menyangkut akidah, ibadah, muamalah, dan akhlak demi tercapainya kebahagiaan dunia dan akhirat.




















Daftar Pustaka

Abdullah, Yatimin, 2006. Studi Islam Komtemporer. Jakarta: AMZAH

Ghazali, Muhammad Al, 1999. Berdialog Dengan Al-Qur'an. Bandung: Mizan

http.zulfikarnasution.wordpress.com/2011
Nata, Abuddin, 2001. Metodologi Studi Islam. Jakarta: PT RajaGrafindo persada





[1] Abuddin Nata, 2001. Metodologi Studi Islam. Jakarta: PT RajaGrafindo persada
Hlm. 155
[2] Muhammad Al- Ghazali, 1999. Berdialog Dengan Al-Qur'an. Bandung: Mizan
Hlm. 104
[3] Ibid, Hlm. 132
[4] http.zulfikarnasution.wordpress.com/2011…
[5] Abdullah, Yatimin, 2006. Studi Islam Komtemporer. Jakarta: AMZAH, Hlm. 52

[6] Abuddin Nata, Metodologi Studi Islam. Hlm. 192